Eks Kepala BMKG Ungkap Sebab Banjir Sumatra: Kontribusi Terbesar dari Ulah Manusia

Halokubar.com – Eks Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menegaskan banjir dan tanah longsor yang melanda Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh bukan semata akibat dinamika alam. Menurutnya, faktor terbesar yang memperparah bencana hidrometeorologi tersebut justru berasal dari aktivitas manusia.
Dwikorita mengatakan rekonstruksi suhu Bumi selama ratusan juta tahun menunjukkan perubahan iklim memang pernah terjadi secara alami. Namun, pemanasan yang berlangsung dalam 150 tahun terakhir meningkat berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan perubahan alamiah manapun dalam sejarah geologis.
“Laju kenaikan suhu saat ini tidak dapat dijelaskan semata oleh mekanisme alamiah. Kontribusi terbesar datang dari aktivitas manusia, seperti emisi gas rumah kaca, deforestasi, dan industrialisasi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (7/12).
Ia menjelaskan kenaikan suhu global membuat udara menyimpan uap air lebih banyak. Ketika dilepaskan sebagai hujan, energinya jauh lebih besar sehingga memicu cuaca ekstrem. Fenomena ini kemudian bertemu dengan faktor alamiah yang memang membuat Sumatra rawan bencana, mulai dari lereng curam sampai dinamika tektonik aktif.
Kondisi itu, kata Dwikorita, diperparah kerusakan lingkungan yang melemahkan kemampuan kawasan hulu menyerap air. Topografi Sumatra yang sarat sesar aktif dan tebing terjal juga membuat potensi longsor meningkat, termasuk longsor yang dapat membendung aliran sungai.
“Ini yang saya sebut coupled hazards. Faktor alamiah dan faktor antropogenik tidak berdiri sendiri, melainkan saling menguatkan sehingga dampaknya jauh lebih destruktif,” jelasnya.
Dwikorita menilai rangkaian banjir dan longsor di Sumatra menjadi alarm keras bahwa sistem lingkungan Indonesia tengah berada dalam tekanan berat. Ia menyebut kondisi ini sebagai “bom waktu” yang harus segera dijinakkan dengan langkah mitigasi yang benar.
Ia menekankan mitigasi bencana hidrometeorologi harus berbasis perlindungan dan pemulihan lingkungan, didukung kajian ilmiah dan teknologi yang kuat agar kejadian berulang tidak berubah menjadi tragedi besar.
“Mitigasi harus berbasis pada pemulihan kerusakan lingkungan. Itu mutlak,” tegasnya.(kar)





