KaltimKutai Barat

Alfonus, Generasi Muda Pengukir Asal Kubar: Berjuang Lestarikan Seni Ukir Warisan Leluhur

Alfonus, Generasi Muda Pengukir Asal Kubar (Foto: Setda Kubar)

Halokubar.com – Di tengah gempuran modernisasi, Alfonsus Orozco Legang Juan (23) memilih jalan berbeda. Pemuda asal Kampung Tering Baru, Kabupaten Kutai Barat (Kubar), Kalimantan Timur ini berkomitmen menjaga eksistensi seni ukir khas daerahnya. Bagi Alfonsus, mengukir bukan sekadar sumber penghidupan, tapi juga cara menghormati warisan budaya leluhur.

“Mengukir adalah pilihan hidup. Selain menghasilkan, ini cara kami menghargai identitas budaya,” ujar Alfonsus.

Dia tak sendirian dalam perjalanannya. Alfonsus adalah generasi ketiga dalam keluarganya yang menekuni seni ukir. Kakeknya, Blasius Huvat Imang (80), adalah sosok yang mengajarinya sejak kecil.

“Kakek selalu bilang, seni ini harus dilanjutkan agar tidak punah,” kenangnya.

Anak pertama dari pasangan Benekdiktus Juan Huvat (50) dan Yoseva Lenau Djuan (49) ini mulai mengenal ukir-mengukir saat duduk di bangku SD. Di usia 11 tahun, ia sudah menggambar motif-motif tradisional di kertas. Baru di kelas 2 SMP, ia memberanikan diri mengukir langsung pada media kayu, seperti alat musik sampek dan gagang mandau.

Kini, setelah lebih dari satu dekade mengasah keterampilan, Alfonsus menjelma menjadi pengukir handal. Karyanya mencakup sampek (alat musik tradisional Dayak) dan mandau lengkap dengan sarung serta gagang. Untuk membuat satu sampek, ia membutuhkan waktu sekitar dua minggu dengan harga jual Rp800 ribu hingga Rp3 juta. Sementara satu set mandau bisa memakan waktu sebulan, dijual mulai Rp800 ribu hingga Rp5 juta.

Dari usaha ini, pemuda yang memiliki dua adik, Christian Joseph Levai (14) dan Maria Melanie Lirang (14) itu mengantongi penghasilan rata-rata Rp3 juta per bulan.

Uang tersebut ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari sekaligus mengembangkan usahanya.

Menurut Alfonsus, kunci dari seni ukir adalah ketelitian, kesabaran, dan keuletan. Setiap goresan pisau ukir harus presisi, apalagi motif khas Kubar sarat dengan detail filosofis, seperti simbol persatuan dan kearifan lokal.

“Kami tidak hanya menjual kayu, tapi juga cerita budaya,” tegasnya.

Ia berharap semangatnya bisa menginspirasi generasi muda Kubar lainnya.

“Jangan pernah malu melestarikan hal positif seperti ini. Ini adalah identitas kita,” pesannya.

Alfonsus sadar, minat generasi muda terhadap seni ukir tradisional kian menurun. Namun, ia optimistis dengan terus mempromosikan karya lewat media sosial dan pelatihan, seni ukir Kubar bisa tetap relevan. Dukungan pemerintah dan pelaku usaha lokal, menurutnya, juga krusial untuk membuka pasar yang lebih luas.

“Seni ukir adalah warisan tak ternilai. Jika tidak dijaga, siapa lagi yang akan melakukannya?” tukasnya.(kar)

Related Articles

Back to top button