KaltimMahulu

Ini Alasan MK Diskualifikasi Pasangan Owena-Stanislaus di Pilkada Mahulu

Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia telah memutuskan untuk mendiskualifikasi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Mahakam Ulu, Owena Mayang Shari Belawan dan Stanislaus Liah (Foto: Dok Istimewa)

Halokubar.com – Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia telah memutuskan untuk mendiskualifikasi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Mahakam Ulu, Owena Mayang Shari Belawan dan Stanislaus Liah, dalam putusan yang dibacakan Senin (24/2/2025). Hakim Suhartoyo, yang memimpin jalannya sidang, menyatakan batalnya keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mahakam Ulu tentang penetapan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Mahakam Ulu Tahun 2024.

“Menyatakan batal keputusan KPU Mahakam Ulu Nomor 601 Tahun 2024 tentang penetapan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Mahakam Ulu Tahun 2024,” ujar Suhartoyo dalam amar putusannya.

Sidang yang menghasilkan keputusan perkara nomor 224/PHPU.BUP-XXIII/2025 ini, diajukan oleh pasangan calon Novita Bulan dan Artya Fathran Marthin, yang mempertanyakan keabsahan penetapan Owena dan Stanislaus sebagai pemenang pemilu. MK menilai terdapat pelanggaran yang cukup signifikan untuk membatalkan hasil pemilu yang sudah diumumkan.

Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menyatakan bahwa pasangan Owena-Stanislaus terbukti telah membuat kesepakatan politik dengan para Ketua RT di Mahakam Ulu. MK menilai kesepakatan tersebut bukan sekadar janji politik biasa, melainkan bentuk perekrutan Ketua RT sebagai bagian dari tim pemenangan pasangan tersebut.

“Pihak pertama dalam kesepakatan ini adalah warga Kabupaten Mahakam Ulu yang memiliki kebebasan untuk memilih calon tertentu,” ujar Saldi.

“Sementara itu, pihak kedua menjanjikan bahwa jika terpilih, mereka akan mengalokasikan anggaran dalam bentuk Program Alokasi Dana Kampung sebesar minimal Rp4 miliar hingga Rp8 miliar per kampung per tahun, Program Ketahanan Keluarga sebesar Rp5 juta sampai Rp10 juta per dasawisma per tahun, serta Program Dana RT sebesar Rp200 juta hingga Rp300 juta per RT per tahun,” tambahnya.

Saldi menegaskan bahwa pelanggaran tersebut dilakukan secara sistematis dengan perencanaan yang matang. MK menilai tindakan pasangan Owena-Stanislaus telah mencederai prinsip-prinsip pemilu yang jujur dan adil.

Selain itu, MK juga menemukan bukti bahwa pasangan Owena-Stanislaus melakukan pelanggaran kampanye. Kampanye tersebut dilakukan dalam acara Tanam Padi Gunung Lahan Kering seluas 10 hektare, yang turut melibatkan sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu.

MK menilai kegiatan itu seolah memberikan kesan bahwa program pemerintahan Mahakam Ulu hanya dapat berlanjut jika pasangan Owena-Stanislaus terpilih. Diketahui, Owena Mayang Shari Belawan adalah putri dari Bonifasius Belawan Geh, yang menjabat sebagai Bupati Mahakam Ulu periode 2016-2024.

“Selain melakukan praktik politik uang dalam skala besar melalui kontrak politik yang menjanjikan dana kepada pemilih, yang dapat dikategorikan sebagai bentuk ‘vote buying’ secara terstruktur, sistematis, dan masif, Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa pasangan calon nomor urut 3 ini pernah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana pemilu bersama dengan Bupati Mahakam Ulu,” tegas Saldi.

Untuk diketahui, sebagai tambahan sebelumnya persidangan sengketa hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Mahakam Ulu Tahun 2024 di MK diwarnai dengan dugaan keterlibatan Bupati aktif dalam proses pemilihan. Bupati tersebut merupakan ayah kandung dari Owena Mayang, calon bupati yang diusung pada Pilkada Mahakam Ulu 2024 dengan nomor urut 3.

Sidang lanjutan perkara Nomor 224/PHPU.BUP-XXIII/2025 ini digelarPanel 2 MK, dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra serta didampingi Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Ridwan Mansyur, pada Selasa (11/2/2025) di Gedung MK.

Pasangan calon nomor urut 2, Novita Bulan dan Artya Fathra Marthin, sebagai pemohon, menghadirkan Ketua Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) Long Penaneh 1, Novianus A. Batoo, sebagai saksi. Dalam keterangannya, Batoo mengungkap adanya keterlibatan Bupati aktif Mahakam Ulu dalam mendukung anaknya maju dalam Pilkada 2024.

Batoo menyebut bahwa dalam sebuah kegiatan “Peningkatan Kapasitas SDM BUMK di Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia” pada 22 Agustus 2024 di Yogyakarta, Bupati Mahakam Ulu meminta dukungan peserta acara untuk memenangkan anaknya sebagai calon bupati.

“Setelah acara selesai, Bapak Bupati meninggalkan lokasi sambil bersalaman dengan peserta. Saat tiba di tempat menginap, salah satu peserta yang hadir dalam acara itu bercerita kepada saya bahwa Bupati meminta dukungan untuk anaknya dalam Pilkada Mahakam Ulu,” ujar Batoo di hadapan majelis hakim.

Selain itu, dalam pidato tambahan yang disampaikan Bupati dalam acara tersebut, ia menyinggung keberlanjutan program pemerintah daerah. Kendati tidak menyebut langsung nama anaknya, Batoo menilai bahwa pernyataan tersebut merupakan bentuk dukungan terselubung terhadap pencalonan Owena Mayang.

“Ketika pendaftaran calon bupati dibuka, ternyata anaknya mendaftar. Jadi saya menyimpulkan bahwa pidato itu memang bentuk dukungan terhadap anaknya,” lanjut Batoo, menjawab pertanyaan Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Untuk memperkuat argumennya, pihak pemohon juga menghadirkan ahli, Bambang Eka Cahya Widodo, yang menyoroti dugaan keterlibatan pejabat daerah dalam proses pemilihan. Bambang menyebut bahwa Pilkada Mahakam Ulu 2024 telah tercoreng oleh pelanggaran serius, termasuk intervensi Bupati aktif untuk memenangkan anaknya.

“Bupati aktif mengumpulkan perangkat desa di Yogyakarta dan meminta mereka mendukung anaknya yang maju sebagai calon bupati. Ini jelas melanggar Pasal 71 ayat (1) dan (3) UU Pilkada yang melarang pejabat daerah mengambil tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon,” kata Bambang.

Bambang menambahkan bahwa Bawaslu sebenarnya telah menangani kasus ini dan meneruskannya sebagai pelanggaran pidana pemilu melalui Sentra Gakkumdu. Namun, karena keterbatasan waktu yang ditetapkan oleh regulasi pemilu, laporan tersebut dinyatakan kedaluwarsa sehingga tidak bisa diproses lebih lanjut.

“Penegakan hukum dalam kasus ini terkendala oleh batas waktu yang ditetapkan undang-undang pemilu. Akibatnya, pelanggaran yang jelas terjadi tidak mendapat sanksi yang setimpal,” ujarnya.

Menurut Bambang, kondisi ini mengakibatkan hak pemohon untuk mengikuti pemilu yang adil menjadi tidak terpenuhi. Ia pun menegaskan bahwa Mahkamah perlu menilai apakah proses pemilihan yang dipenuhi pelanggaran ini masih memenuhi standar integritas pemilu.

“Mahkamah tidak bertugas menegakkan hukum pidana pemilu, tetapi harus memastikan apakah pemilu yang berlangsung dengan berbagai pelanggaran ini masih bisa dikatakan sebagai pemilu yang jujur dan adil. Jika tidak ada sanksi terhadap pelanggaran, maka integritas pemilu patut dipertanyakan,” tegas Bambang.(kar)

Related Articles

Back to top button